Komodifikasi Mudik: Dari Ritual Tahunan Menjadi Peluang Cuan

"Le, muléh ora?"

Pertanyaan ini kerap kali muncul di akhir bulan Ramadan, menjelang Lebaran. Bagi perantau di kota-kota besar, mudik bukan sekadar perjalanan pulang kampung, tetapi sudah menjadi ritual tahunan yang sarat makna. Namun, di balik kerinduan dan kebersamaan di kampung halaman, ada mesin ekonomi besar yang bergerak. Mudik telah menjadi industri tersendiri—transportasi, kuliner, oleh-oleh, bahkan jasa penitipan hewan dan rumah ikut menikmati berkahnya.

Di Angkringan Bu Benu

Malam itu, angkringan Bu Benu lebih ramai dari biasanya. Lampu jalan temaram, suara kendaraan melintas, dan aroma gorengan menyeruak di udara. Warung angkringan sederhana di pinggir jalan, tepat di ujung gang masuk kampungku.

Ngobrolin Mudi di Angkringan Bu Benu-Java Harmony

Parjo, tukang becak yang biasa mangkal di samping warung angkringan Bu Benu, duduk santai di bangku kayu sambil menyeruput kopi dan menikmati rokok kreteknya. Sementara itu, Bimo, mahasiswa perguruan tinggi swasta yang lagi galau dengan skripsinya, asyik mengetik sesuatu di laptopnya sambil menghisap vape dan sesekali menyeruput wedang kopi jahe. Bu Benu, dengan celemek lusuhnya, membolak-balik gorengan sambil sesekali melirik para pelanggannya dan orang yang lalu lalang di trotoar.

-----✧❀✧-----

"Mas Bimo, mudik ta tahun iki?" tanya Bu Benu yang selalu képo.

"Iya... Buk! Sudah pesan tikèt sejak sebulan lalu, takutnya kehabisan kalau beli tikèt mendekati hari H," jawab Bimo tanpa menoleh ke arah Bu Benu.

"Halah... Tikèt sebulan lalu juga sudah mahal, kan, Mo? Apalagi kalau beli dadakan, bisa jebol dompetmu!" Parjo ikut menimpali percakapan.

"Iya, Pakdé. Sekarang semua serba bisnis, mengikuti suplai én diman (supply and demand). Konon dulu mudik tuh cuma sekadar pulang kampung. Sekarang semua sektor ikut cari cuan," Bimo menanggapi omongan Parjo, sambil tatapannya tetap fokus ke layar laptop.

"Iyo, Mas... Lha wong gorèngan Bu Benu aja ikut penyesuaian harga pas musim mudik, apalagi harga tikèt," kata Bu Benu.

"Lha piyé manèh... Kesempatan setahun sekali, terus harga-harga juga semuanya naik... Bahkan kemarin puasa aja belum, tapi harga di pasar sudah pada naik," lanjut Bu Benu.

Mereka tertawa, menikmati ironi bahwa, bahkan angkringan pun ikut terdampak 'ekonomi mudik'.

Mudik: Tradisi yang Berkembang Menjadi Peluang Bisnis

Dulu, mudik hanya soal pulang kampung dan bertemu keluarga. Kini, aktivitas ini telah dikomodifikasi sedemikian rupa oleh berbagai sektor. Tiket pesawat, kereta, dan bus melonjak drastis, hotel dan penginapan kebanjiran tamu, serta pusat perbelanjaan panen besar menjelang Lebaran. Fenomena ini membuktikan bahwa mudik bukan sekadar tradisi, tetapi juga mesin penggerak ekonomi yang luar biasa.

Lihat saja bagaimana maskapai penerbangan dan perusahaan transportasi darat berlomba-lomba menawarkan promo tiket mudik hemat yang justru tetap mahal. Atau bagaimana pusat oleh-oleh menggoda pemudik dengan paket spesial yang membuat mereka merasa wajib membawa buah tangan untuk keluarga di kampung.

Dari Ritual Kepergian Menjadi Festival Konsumsi

Mudik bukan lagi sekadar sebuah tradisi perjalanan; ia telah berevolusi menjadi festival konsumsi. Iklan-iklan televisi mulai menampilkan nuansa mudik sejak Ramadan tiba. Dari pakaian baru hingga gadget canggih, semua dipasarkan sebagai bagian dari pengalaman pulang kampung yang sempurna. Sadar atau tidak, ada dorongan sosial yang membuat banyak orang merasa harus pulang dengan membawa sesuatu, baik dalam bentuk materi maupun cerita sukses.

-----✧❀✧-----

"Wah, nanti medsos masih ramé lagi nggak ya... soal tarif parkir?" Bimo melempar pertanyaan, entah kepada siapa.

"Iyo, Mo... Biasanya orang pada ribut soal tarif parkir yang melonjak nggak kira-kira. Mosok motor jadi sepuluh Ã¨wu (sepuluh ribu), nèk mobil ketok plat luar kota dikenclèng (digetok) nganti seket èwu (limapuluh ribu). Kamongko dudu parkiran resmi, nèk ana ilang-ilangan yo mung pringas-pringis, raiso tanggung jawab tukangé parkir," Bu Benu mulai menggerutu, seolah ikutan jadi korban.

"Kuwi sing marahi kutané éntuk jeneng èlèk, waton aji mumpung, ora mikir keplentingan liyané," lanjut Bu Benu, seolah ikut tidak terima dengan kondisi perparkiran yang tiap tahun diangkat di medsos.

Parjo memilih diam, pura-pura nggak ngeh. Dia sadar sebagai salah satu praktisi dalam dunia parkir dadakan untuk event-event tertentu seperti musim mudik Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.

"Warung-warung makan juga ambil peran kok, Buk... Kadang yo tegel nuthuk rego (menaikkan harga) berlipat-lipat. Nggak masuk akal, tapi oknum-oknum seperti itu ada," imbuh Bimo.

"Lah iya... Ning ora kabèh, kuwi mung oknum... Ojo mbok gebyah uyah," tangkis Bu Benu, agak tersindir.

Industri Pariwisata Juga Menikmati Berkah Mudik

Industri pariwisata juga ikut mengambil peran. Destinasi wisata daerah berlomba-lomba mempromosikan diri sebagai tempat singgah yang wajib dikunjungi pemudik. Restoran, kafe, dan tempat wisata lokal mendadak ramai, menikmati dampak ekonomi dari para perantau yang ingin bernostalgia dengan kuliner khas daerahnya.

Simbiosis Antara Budaya dan Kapitalisme

Komodifikasi mudik ini menunjukkan bagaimana budaya dan kapitalisme bisa bersimbiosis. Di satu sisi, tradisi ini tetap berlangsung dan bahkan semakin kuat. Di sisi lain, ada pihak-pihak yang melihat peluang bisnis besar di dalamnya. Selama masih ada perantau yang rindu kampung halaman, selama itu pula ekonomi mudik akan terus berputar.

-----✧❀✧-----

Parjo: "Lha iyo, Bim. Mudik saiki wis kaya festival duit. Sing sugih tambah sugih, sing kéré kudu muter otak."

Bimo menoleh sebentar ke arah Parjo sambil menghisap vape. "Ya begitulah, Dé. Tapi kalau nggak pulang, nanti disindir keluarga, dibilang lupa kampung halaman."

"Belum ditanya-tanya kapan lulusnya," sambat Bimo.

Bu Benu: "Hahaha... Yo wés, Bim. Pokoké pulang kampung tetep penting, tapi ojo nganti kantongmu kosong pas muléh!"

Mereka kembali tertawa. Malam terus berjalan, dan di balik obrolan santai di angkringan itu, roda ekonomi mudik tetap berputar dengan dinamis.

Obrolan di angkringan Bu Benu-Java Harmony

-----✧❀✧-----

Jadi, tahun ini, saat kamu berkemas untuk pulang, sadarilah bahwa kamu bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga bagian dari roda ekonomi yang berputar. Selamat mudik, dan jangan lupa, di balik kehangatan keluarga, ada banyak tangan yang turut meraup cuan dari perjalananmu!

Catatan:
komodifikasi adalah proses mengubah sesuatu yang awalnya bukan komoditas (barang atau jasa yang diperdagangkan) menjadi komoditas, atau memperlakukan sesuatu seolah-olah itu adalah komoditas. Dengan kata lain, komodifikasi adalah proses "menjual" sesuatu yang seharusnya tidak diperdagangkan.

Masih di Ngopi Sore :
Becoming Supernatural karya Dr. Joe Dispenza
Rp115.000
OLEVS 9931 Jam Tangan Pria Anti Air Original
Rp299.000
Baca Nanti :

Inspirasi Lainnya :

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama