Malam itu, jalanan di depan gang kampungku tak seramai biasanya. Mungkin kantong sedang pada tipis, pikirku. Jadi banyak orang yang lebih memilih berdiam di rumah. Di angkringan Bu Benu, asap bakaran sate ayam dan sate keong mengepul, berpadu dengan aroma kopi jos yang menggoda.
Di pojokan, Bimo, mahasiswa ekonomi yang sering nongkrong di sini, sedang asyik menyeruput wedang jahe. Di sebelahnya, Parjo, toekang becak yang suka mangkal di depan gang, duduk santai sambil mengunyah nasi kucing dengan tempo yang seolah mengikuti irama dangdut dari radio trasistor tua yang sesekali terdengar suara kemresek.
"Wah, krisis ekonomi ini benar-benar bikin pusing, Jo,"
keluh Bimo, membuka percakapan dengan nada akademis.
Parjo
meliriknya sebentar lalu mendengus, "Halah, krisis-krisis. Itu cuma
akal-akalan orang kota, Moo. Di kampungku, beras masih melimpah, singkong juga
tumbuh subur. Mau makan? Tinggal metik. Mau ngopi?...Tinggal seduh. Apa
susahnya?"
Bimo menghela napas panjang, pertanda ia harus menyusun
kesabaran ekstra malam ini. "Jo, krisis ekonomi itu bukan soal malas atau
rajin. Ini masalah sistemik, ada inflasi, ada resesi, daya beli masyarakat
turun, nilai tukar rupiah melemah..."
Parjo menyipitkan mata,
mencoba mencerna. "Mo...Mo, istilahmu kok keduwuren, yo? Intinya,...kalau uang
susah dicari, ya jangan boros. Jangan tiap nongkrong di kafe beli kopi seharga
bensin seminggu!"
Bimo tertawa kecil. "Iya, Jo, tapi ada yang
namanya daya beli. Kalau harga-harga naik, tapi gaji dan penghasilan tetap
segitu-segitu saja, masyarakat bakal kesulitan."
Parjo mengangguk,
berpikir sejenak, lalu dengan wajah serius berkata, "Makanya, jadi rakyat
kecil itu harus kreatif. Aku ini sopir becak, tapi juga bisa makelaran, jualan
keripik singkong buatan istriku, bahkan jadi tukang parkir dadakan kalau
perlu. Fleksibel, Mo!"
Tiba-tiba, suara bakule angkringan
menyela, "Lha, ini mau lanjut bahas krisis atau mau nambah pesanan? Sate usus
masih anget, lho!"
"Lha, itu dia, Buk. Krisis ekonomi bikin orang
mikir dua kali buat jajan," sahut Bimo, terkekeh.
"Tenang saja, Mo.
Di Jogja ini, angkringan selalu jadi penyelamat. Harga merakyat, rasa tetap
istimewa," kata Bu Benu si penjual angkringan, sambil mengedipkan mata seperti
seorang ekonom kelas berat yang baru menemukan solusi revolusioner.
Parjo
mengangguk setuju, lalu menepuk perutnya yang buncit. "Betul, Yu! Di Jogja
ini, krisis ekonomi bisa diatasi dengan secangkir kopi jos dan sebungkus nasi
kucing! Selama angkringan masih ada, kita tetap bisa bertahan!"
Kami pun tertawa bersama, menikmati suasana angkringan ujung gang yang hangat dan akrab. Di tengah krisis ekonomi yang menghimpit, phk dimana-mana, celotehan khas akar rumput dan secangkir kopi hitam tetap menjadi obat mujarab untuk meringankan beban hidup.
*Klik pada gambar untuk melihat detail produk
![]() Rp569.000
|
![]() Rp34.300
|
![]() Rp67.500
|
Posting Komentar