"Buk... biasa... pesen es kopi Good Day, ndak usah ditambah gula ya,
Buk," kata Bimo sambil mencomot pisang goreng di atas nampan.
"Sedang
lihat apa, Pakde?! Kok serius banget?" lanjutnya sambil duduk di bangku
favoritnya, mencoba menyapa Parjo yang duduk di hadapannya. Parjo tetap asyik
memandangi layar HP-nya dengan wajah agak serius.
"Ini, Mo... lagi rame soal penembakan di lokasi judi sabung ayam," Parjo menjawab
tanpa menoleh.
"Ooooh... yang tiga polisi mati? trus ada
juga oknum tentara yang diduga sebagai pelaku penembakan itu po?" tanya
Bimo, memastikan obrolannya nyambung dengan Parjo.
"Ho'oh...lagi rame banget itu di medsos, Kang," Bu Benu ikut nimbrung sambil meletakkan segelas kopi Good Day di hadapan Bimo.
Sambil menghisap vape, Bimo menanggapi, "Ya, dah jadi rahasia umum tho, Pakde? Tempat-tempat semacam itu biasanya ada backing-backing-nya." Ia melanjutkan, "Makanya, tempat-tempat seperti itu sulit diberantas. Asal setoran uang haramnya lancar... semuanya aman dan tertib."
Bimo pun melanjutkan, "Kalau masalah sabung ayamnya sih....ya nggak ada masalah toh? Ada yang menjadikannya sebagai hobi bagi orang-orang yang punya kelangenan piara ayam aduan. Bahkan di adat-istiadat tertentu seperti di Bali tuh, sabung ayam jadi bagian dari ritual agama atau kebudayaan setempat. Ada juga adu domba di Garut, adu kerbau di Toraja, Sulawesi. Yang dilarang tuh ya itu tuh...praktek perjudiannya, itu yang nggak boleh."
Parjo mengernyitkan dahi, lalu nyeletuk, "Tapi apa ya setoran-setoran semacam itu juga sampai ke atasan?... Ini kan duit lumayan gede, kan, Mo?"
Bimo nyengir sinis. "Bisa jadi. Ketika masih aman-aman saja, setorannya nyampe ke atasan. Siapa yang tahu iya, kan? Tapi setelah kasusnya njeblug, biasanya nih... para atasan akan rame-rame menyangkal. Yang gitu-gitu tuh akan tetap aman kalau semua kecipratan duit haramnya. Begitu terbongkar karena sebuah peristiwa, semua berusaha nyari selamat dengan pura-pura kaget, pura-pura nggak tahu, pura-pura bego', pura-pura pingsan, pura-pura ini-itu."
Bu Benu menimpali, "Loh?... lha kalau atasannya bener-bener nggak tahu, gimana, Mas Bim?"
Parjo yang menjawab lebih dulu. "Jare ora ono anak buah sing salah, Yuu... sing salah komandane."
"Ho'oh po, Mas?" Bu Benu ingin memastikan.
Bimo mengangguk
pelan. "Ya, emang seorang atasan harus melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap anak buahnya. Itu beratnya jadi seorang komandan. Kalau berhasil
menjalankan tugas dan fungsinya, ya karirnya mulus, naik terus sesuai jenjang.
Tapi kalau kompromi sama anak buah yang menyimpang, apalagi kalau terbukti
ikut kecipratan... ya wassalam."
Bu Benu berkacak pinggang. "Woooh... ha terus piye?! Mereka kan disumpah dan harus ngugemi sumpahnya?! Kok malah terlibat dalam perbuatan yang jadi larangane negoro?! Itu kan sama saja sudah mengkhianati sumpah jabatannya?! Iyo ora, Mas Bim?!"
Parjo terkekeh sambil nyengir. "Yo nek ora iso teguh nyekeli sumpahe... nek mengkhianati
sumpahe? yo akhire mung konyol... disumpahi wong sak negoro!"
Bimo tersenyum kecut. Ia melemparkan pandangannya jauh ke
ujung jalan. Ada rasa keprihatinan yang mendalam berkecamuk di hatinya.
Obrolan warung kopi masih terus berlanjut sampai malam. Pengunjung datang dan pergi silih berganti, tapi percakapan hangat di sudut angkringan itu tak pernah benar-benar usai.
Posting Komentar