Di ujung gang sempit yang selalu ramai lalu-lalang dan anak-anak bermain sepeda, berdirilah warung kopi tenda milik Bu Benu—tempat segala gosip, keluh kesah, dan isu negara dibahas lebih serius daripada rapat DPR. Meja plastik, kursi lipat, dan aroma kopi tubruk jadi saksi bisu obrolan sore itu, saat Pak Karyo baru selesai narik becak, Bimo si mahasiswa abadi mampir numpang Wi-Fi, dan Pak RT sekedar mampir sepulang kerja. Topik mereka hari itu? Bukan soal gorengan naik harga, tapi oknum-oknum hakim yang katanya sudah bergaji langit tapi masih doyan amplop duniawi.
Bu Benu:
“Eh, kalian denger berita di tipi tadi siang?
Lagi-lagi ada hakim ketangkep gara-gara suap. Padahal udah digaji gede
loh.”
Pak Karyo:
“Heh! Gaji gede bukan jaminan, Bu.
Kadang nafsu orang tuh kaya karung goni bocor—diisi terus tapi tetep kosong
rasanya.”
Bimo:
“Iya, Pak. Gaji hakim tuh bisa buat
beli motor listrik tiap bulan. Tapi kalau udah terjebak gaya hidup 'sultan wannabe', ya percuma. Mereka bukan hanya mengincar uang, tapi pengakuan dan... ehm,
flexing!”
Pak RT:
“Flexing? Itu apaan, Mo?”
Bimo:
“Pamer, Pak. Misalnya nih...beli barang mewah, upload di medsos. Habis
sidang, ngopi-ngopi di Bali. Foto-foto caption-nya ‘Justice served, now beach
time’. Gitu, Pak.”
Bu Benu:
“Astaga. Hakim apa
selebgram tuh?”
Pak Karyo:
“Yang bikin miris itu lho…
katanya gaji dan tunjangan udah dibuat tinggi biar gak tergoda. Dikasih rumah
dinas, mobil dinas, berbagai jaminan dan fasilitas. Lah kok masih korupsi
juga?..Kan huasyuu...iya tho?”
Pak RT:
“Ya itu. Sistem
pengawasannya mungkin cuma buat formalitas. Kaya CCTV di pos ronda, hidup sih…
tapi nggak pernah dipantau.”
Bimo:
“Atau jangan-jangan,
pengawasnya juga main? Jadi sistemnya tuh ibarat pagar makan tembok, Pak.”
Bu Benu:
“Duh, jangan-jangan nanti ada slogan baru: ‘Keadilan bisa dinego, asal
transfer dulu.’”
Pak Karyo:
“Hahaha! Bisa jadi, Bu.
Kalo mau menang perkara, tinggal pilih paketnya: Paket Hemat, Paket Ekspres,
atau Paket ‘Hakim Ramah Dompet’. Bukan lagi wakil Tuhan...tapi wakilnya
Dajjal!”
Pak RT:
“Parah banget. Ini bukan cuma soal
duit thok, tapi udah mencederai kepercayaan masyarakat. Orang jadi mikir,
ngapain repot cari keadilan kalo bisa bayar untuk menang?”
Bimo:
“Dan dampaknya luas banget, Pak. Hukum jadi nggak pasti, orang mau
investasi juga ragu, bahkan penjahat bisa bebas karena punya ‘jalur
belakang’.”
Pak Karyo:
“Jalur belakang? silit ya Mo?”
Pak RT:
“Yang bikin ngguyokke, ada hakim yang sedang menangani kasus dugaan korupsi mantan menteri,...eh dianya sendiri keburu ditangkap karena korupsi...diduga menerima suap.”
Bimo:
“Ya yang ketangkep itu rata-rata pernah bikin vonis yang secara vulgar bertentangan dengan nurani dan rasa keadilan. Terkadang fakta-fakta di persidangan dikesampingkan begitu saja seolah hasil vonis dah disetting duluan.”
Bu Benu:
“Yang rugi siapa? Ya kita-kita juga. Orang kecil makin gak percaya
hukum. Lama-lama ngadu ke dukun nih ketimbang ke pengadilan.”
Pak Karyo:
“Yang penting jangan sampe dukunnya juga pake sistem suap. Bayar lebih,
santetnya bisa di-upgrade.”
(Semua tertawa kecil)
Pak RT:
“Sebenernya upaya pemberantasan udah ada: pengawasan internal, Komisi
Yudisial, sistem SIPP, bahkan penangkapan oknum. Tapi ya, selama yang duduk di
sana gak punya integritas, ya tetep bobrok.”
Bimo:
“Ibaratnya, sistemnya udah cakep, tapi isinya masih ‘terkontaminasi
mental comberan’. Harusnya mereka bukan cuma pintar hukum, tapi juga kuat
iman.”
Bu Benu:
“Makanya, harus ada pendidikan etika
terus-menerus. Jangan cuma pintar pas ujian masuk jadi hakim, tapi bego pas
liat amplop cokelat.”
Pak Karyo:
“Dan masyarakat juga
jangan diem. Liat ada keanehan, laporin! Jangan malah bilang ‘biasa itu mah,
udah adatnya’.”
Pak RT:
“Betul. Hukum itu fondasi
negara. Kalo udah keropos, ya ambruk semua. Mau bikin Indonesia keren di mata
dunia? Ya bersihin dulu ruang sidangnya. Ganyang sampai habis para mafia
peradilannya.”
Bimo:
“Intinya,
keadilan itu harusnya dibeli dengan kebenaran, bukan dengan amplopan.”
Bu Benu:
“Ah, kalian ini
kalau tiap sore ngomongnya begini terus, warung kopi saya bisa jadi pusat
reformasi peradilan!”
Pak Karyo:
“Iya Bu, tinggal
tunggu KPK dan Kejagung buka cabang di sebelah warung ini.”
---
Semua tertawa sambil srupat-sruput kopi. Di atas meja, gorengan tinggal separuh, tapi semangat membahas keadilan terasa masih penuh.
*Klik produk untuk keterangan selengkapnya:
Posting Komentar
Silakan Meninggalkan Komentar