Malam di kampung terasa damai. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembab setelah hujan sore tadi. Di sebuah pos ronda di sudut kampung, dua sosok duduk di atas dipan bambu. Bayu, seorang pemuda yang baru pulang dari kota, dan Pak Sholeh, lelaki tua bijaksana yang sudah puluhan tahun mengamati kehidupan di kampung ini.
“Pak, saya merasa galau belakangan ini,” ujar Bayu sambil mengaduk kopi di gelasnya.
Pak Sholeh tersenyum tipis, menyeruput kopi kental panasnya. “Kenapa, Nak? Apa yang mengganggu pikiranmu?”
“Saya merasa… seperti ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya. Saya sudah bekerja keras, mencapai banyak hal, tapi tetap saja ada rasa kosong,” Bayu menatap jauh ke arah gelapnya jalanan kampung.
Pak Sholeh mengangguk pelan. “Nak, kadang kita terlalu terikat pada diri sendiri, pada keinginan, pencapaian, dan pengakuan dari orang lain. Itu yang membuat kita gelisah.”
“Maksudnya, Pak?” tanya Bayu yang nampak rada bingung.
“Anggapan bahwa ‘diri itu penting’ bisa jadi akar dari kegelisahan dan penderitaan kita, ” terang Pak Sholeh sembari meletakkan cangkirnya. “Kita sering kali terlalu terikat pada identitas. Misalnya, ketika seseorang menganggap status sosial atau pekerjaannya sebagai bagian utama dari dirinya, ia akan merasa kehilangan ketika semua itu berubah.”
Bayu mengangguk, dia merenung sejenak. “Jadi kalau suatu saat saya kehilangan pekerjaan atau status, saya akan merasa hancur?”
“Betul. Itu karena kamu menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang tidak tetap.” Pak Sholeh tersenyum bijak. “Selain itu, merasa diri penting juga bisa memicu ekspektasi tinggi. Kita ingin segalanya berjalan sesuai rencana, ingin orang lain memahami kita, ingin diakui. Tapi ketika itu tak terjadi, kita kecewa.”
Bayu menghela napas panjang. “Jadi, bagaimana cara mengatasinya, Pak?”
“Yang pertama, latih kesadaran diri. Amati pikiran dan perasaanmu tanpa menghakimi. Kadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu tanpa menyadari mengapa kita menginginkannya.”
Bayu mengangguk-anggukan kepala. “Seperti meditasi?”
“Bisa begitu. Atau sesederhana duduk diam dan merenungkan perasaanmu,” jawab Pak Sholeh. “Lalu, belajarlah melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi. Semua bersifat sementara. Jangan terlalu menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang bisa berubah.”
Bayu menyesap kopinya yang masih panas berasap. “Apa lagi, Pak?”
“Kembangkan empati, Nak. Jangan hanya melihat dari sudut pandangmu sendiri. Coba pahami orang lain juga. Ini akan mengurangi rasa egosentris. Juga, terimalah ketidaksempurnaan. Jangan menyiksa diri dengan standar yang terlalu tinggi.”
Bayu tersenyum tipis. “Jadi, saya harus belajar untuk lebih menerima diri sendiri dan tidak terlalu memikirkan pencapaian semata?”
“Tepat sekali. Dan terakhir, bersyukurlah. Rasa syukur membuat kita lebih bahagia dengan apa yang kita miliki.”
Bayu mengangguk mantap. Angin malam kembali berembus, membawa ketenangan dalam percakapan mereka. Malam itu, di pos ronda sederhana, Bayu menemukan sebuah pemahaman baru tentang kehidupan.
*Klik gambar produk untuk melihat detailnya:
Posting Komentar
Silakan Meninggalkan Komentar