Di bawah pohon Waru di sudut kampung, beberapa orang tampak duduk melingkar di atas tikar pandan. Matahari sore mulai condong ke barat, angin semilir membawa aroma tanah yang sedikit basah setelah hujan siang tadi.
"Jadi, beneran Pak RT kemarin jatuh terpeleset di depan warung Mbak Siti?" tanya Karyo sambil menyeruput kopi.
"Iya, dan yang bikin tambah sial, dia jatuh tepat di atas tumpukan kulit durian!" jawab Parmin sambil tertawa kecil. Dari mulutnya menyembur asap dari sebatang kretek yang terselip di antara jari tangan yang barusan dihisapnya.
"Walah, kasihan juga ya. Tapi mungkin itu ada sebabnya," sela Mbah Slamet, lelaki tua yang dikenal bijak di kampung.
Karyo menoleh. "Maksudnya gimana, Mbah? Apa ini yang orang-orang bilang sebagai karma?"
"Lha yo jelas to ya!..... Kemarin dapet bantuan dana dari pemerintah untuk perbaikan jalan kampung, tapi sampai sekarang kok diem-diem bae. Nggak ada rembug dengan warga. Nah saiki kena karma....rasakno dewe!" sela kang Ponijo dengan nada menuduh.
Mbah Slamet tersenyum, menyesap teh hangatnya pelan-pelan. "Nah, soal itu, kita harus ngerti dulu. Dalam Islam, nggak ada yang namanya karma seperti di Hindu atau Buddha. Tapi Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan pasti ada balasannya."
"Lho, terus bedanya di mana, Mbah?" tanya Parmin penasaran.
"Bedanya, kalau dalam Islam, balasan itu nggak selalu langsung kejadian di dunia ini. Bisa aja Allah menunggu sampai di akhirat nanti. Dan lagi, kita nggak percaya reinkarnasi. Hidup cuma sekali, setelah mati ya kita bakal dihisab, dihitung amal baik dan buruknya," jelas Mbah Slamet.
Karyo mengangguk-angguk. "Oh, jadi kalau ada orang jahat, belum tentu langsung kena batunya di dunia ini, ya?"
"Betul! Allah itu Maha Pengampun, manusia bisa tobat. Kalau karma itu kayak hukum sebab akibat yang otomatis, dalam Islam semua tergantung kehendak Allah," kata Mbah Slamet lagi.
Parmin menepuk pahanya. "Nah, aku jadi inget ayat yang bilang bahwa sekecil biji sawi pun perbuatan kita bakal dibalas. Hukum Dzarrah, ya, Mbah?"
"Wah, pinter kamu, Min!" Mbah Slamet tersenyum. "Iya, itu ada di Al-Qur'an. Sekecil apapun kebaikan atau keburukan, pasti bakal dihitung. Jadi, kita harus hati-hati dalam bertindak."
Karyo manggut-manggut sambil menatap langit yang mulai jingga. "Berarti kalau Pak RT kemarin jatuh, belum tentu itu karena dosa dia. Bisa jadi itu ujian, atau justru penggugur dosa, ya, Mbah?"
"Pas sekali! Kadang orang cuma lihat musibah sebagai hukuman, padahal bisa jadi itu cara Allah membersihkan dosa-dosa kita. Makanya, daripada mikirin karma, mending kita fokus aja berbuat baik," ujar Mbah Slamet kembali tersenyum.
Sore makin larut, obrolan pun berlanjut ke cerita-cerita lain, sementara burung-burung mulai kembali ke sarangnya.
- Memahami Konsep Karma: Hukum Sebab-Akibat dalam Kehidupan
- Karma: Ketika Sebab-Akibat Berbicara dalam Hidup
- Karma dan Keturunan: Apakah Kita Menanggung Beban Masa Lalu?
- Karma dalam Pandangan Orang Jawa: Menuai Apa yang Kita Tanam
- Setiap Perbuatan Ada Balasannya, Tapi Bukan Karma
- Membersihkan Karma, Membuka Pintu Keberlimpahan
*Klik gambar produk untuk melihat detailnya:
Posting Komentar
Silakan Meninggalkan Komentar